Sabtu, 30 Januari 2010

Napak tilas Antasari Azhar

Lahir di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, pada 18 Maret 1953. Mengenyam pendidikan dasar di SD Negeri I Belitung sebelum menyelesaikan pendidikan SMP dan SMA-nya di Jakarta. Enam tahun di Jakarta, Antasari kembali ke Palembang ketika mengikuti jenjang perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya.
Selama masa kuliah itu, Antasari tergolong mahasiswa yang gemar berorganisasi. Beliau pernah menjabat sebagai Ketua Senat Fakultas Hukum dan Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa Universitas Sriwijaya.

Seusai menamatkan bangku kuliah, Antasari memilih untuk langsung mengabdi kepada negara. Dia bergabung dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional pada Departemen Kehakiman (kini Departemen Hukum dan HAM). Empat tahun di sana, Antasari bergabung dengan kejaksaan. Di korps Adhyaksa ini, beliau mengabdi selama lebih dari dua puluh tahun dengan jabatan terakhir sebagai Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung.

Selama di kejaksaan, Antasari mengikuti berbagai pelatihan dan pendidikan, mulai dari pendidikan kedinasan seperti SPAMA, SPAMEN, dan SPATI, hingga pelatihan spesialisasi seperti spesialis subversi, korupsi, dan lingkungan hidup. Bapak dua orang anak ini juga sempat mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diadakan di luar negeri, di antaranya Commercial Law di New South Wales University Sidney pada 1996 dan Investigation For Environment Law, EPA, Melbourne pada 2000. Di tahun yang sama pula, beliau meraih gelar magister hukumnya di STIH “IBLAM”.

Pada 5 Desember 2007, Komisi III DPR melalui voting, memutuskan Antasari untuk memegang tampuk Pimpinan KPK periode 2007-2011 bersama empat orang lainnya. Pengucapan sumpahnya sebagai Pimpinan KPK periode 2007- 2011 dilakukan di hadapan Presiden Republik Indonesia di Istana Negara pada Selasa, 18 Desember 2007. Pada 11 Oktober 2009, sesuai dengan Keputusan Presiden No. 78/P Tahun 2009, Antasari diberhentikan dari posisinya sebagai ketua merangkap anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2007-2011. (kpk.go.id)

sumber : http://scriptintermedia.com/view.php?id=4557

Antasari Azhar terpilih menjadi Ketua KPK pada 5 Desember 2007 dengan masa jabatan 2007-2011. Di bawah kepemimpinan beliaulah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin menunjukkan kemampuan dan keteguhan independensinya memberantas korupsi. Sebagai Ketua KPK, Antasari Azhar, kelahiran Pangkal Pinang, Bangka 18 Maret 1953, menunjukkan kepemimpinan yang menempatkan KPK pada sebagai lembaga yang independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan lembaga lainnya.

KPK di bawah kepemimpin mantan Kepala bidang hubungan media massa Kejaksaan Agung (2000) dan Kepala kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, ini memperlihatkan keberanian, profesionalitas, integritas dan eksistensinya yang tidak berada di bawah kendali pemerintah (eksekutif). Ia tidak gemar menghadap dan melapor kepada Presiden seperti pendahulunya Taufiequrachman Ruki.

Pada awal kepemimpinnya, beberapa saat setelah ia dilantik bersama empat anggota KPK lainnya di Istana Negara, Jakarta (Desember 2008 ), KPK membongkar kasus suap dalam tubuh Kejaksaan Agung [Mungkinkah Kejagung menggunakan kesempatan ini untuk "revenge"] , juga menuntaskan kasus penyimpangan aliran dana Bank Indonesia yang melibatkan antara lain Aulia Pohan, besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Selama sekitar 2 tahun kepemimpinan, telah banyak pejabat tinggi baik di legislatif maupun petinggi-petinggi daerah seperti Gubernur dan Bupati. Masih segar dalam ingatan kita bahwa keberanian KPK dapat membawa Sarjan Taher, Hamka Yandhu, Al Amin Nasution, Saleh Djasit, Jaksa Urip, Artalyta yang melambungkan nama Antasari Azhar. Karena prestasi Antasari Azhar ini pula dengan cekatan partai Demokrat mengambil kesempatan untuk membawa nama baik SBY dan menjadi salah satu pendongkrak. Bahkan prestasi KPK pun dibawa-bawa Demokrat untuk mendongkrak suara pemilu 9 April 2009 silam.

sumber : blogranijuliani.blogspot.com

Antasari Azhar, terdakwa otak pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen dituntut hukuman mati oleh Jaksa penuntut umum (JPU). Kenapa? Apa saja yang memberatkannya? Ada 10 hal yang menurut jaksa memberatkan Antasari dalam kasus ini. 10 Hal itu dibacakan Ketua JPU Cirus Sinaga dalam sidang penuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Jl Ampera Raya, Jakarta, Selasa (19/1/2010).

10 Hal yang memberatkan itu adalah:

1. Terdakwa sangat mempersulit persidangan.
2. Terdakwa membuat gaduh.
3. Terdakwa melakukan perbuatan secara bersama-sama, terorganisir untuk membunuh korban Nasrudin Zulkarnaen.
4. Terdakwa telah berusaha menggiring bahwa perbuatannya adalah rekayasa
untuk mempengaruhi publik supaya citra penegak hukum rusak.
5. Terdakwa telah bersama-sama oknum menengah Polri dan pengusaha pers melakukan perbuatan pidana.
6. Perbuatan terdakwa telah merusak citra dan mempermalukan penegak hukum.
7. Terdakwa tidak memberikan contoh yang baik.
8. Korban adalah pejabat BUMN.
9. Terdakwa telah menghilangkan kebahagiaan keluarga istri dan anak-anak korban.
10. Terdakwa telah mengakibatkan penderitaan lahir batin keluarga, istri dan anak-anak korban.

“Hal-hal yang meringankan, selama persidangan tidak ditemukan hal-hal yang meringankan,” tegas Cirus.

sumber; detik.com

Pada hari Selasa, 19 Januari 2010, Jaksa Penuntut Umum menuntut Antasari Azhar, terdakwa dalam kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasruddin Zulkarnaen dengan pidana mati. Saya menilai bahwa tuntutan JPU tidak professional, tidak proporsional, dan tidak melihat terkesan dipaksakan.

Hal ini dinilai karena selama ini JPU tidak bisa menunjukkan bukti yang kuat bahwa Antasari adalah otak dari pembunuhan Nasruddin. Bahkan belakangan ini, saksi-saksi yang diperiksa justru meringankan Antasari. Dari saksi ahli, saksi Wiliardi, saksi Susno, dan alat bukti yang lain mendukung bahwa Antasari bukanlah otak dari pembunuhan Nasruddin.

Semua tuduhan-tuduhan beserta bukti yang didakwakan kepada Antasari malah dipatahkan oleh saksi-saksi. Tuduhan JPU bahwa Antasari meneror Nasruddin dipatahkan oleh kesaksian Saksi Ahli (Ahli IT). Saksi Ahli itu bersaksi bahwa setelah ia periksa dan analisis, ternyata tidak ditemukan sms teror Antasari kepada Nasruddin sebagaimana yang dituduhkan JPU.

Bukti rekaman yang jadi pegangan JPU pun hanya berisi suara Wiliardi, tanpa ada suara Antasari. Bagaimana mungkin seseorang dituduh merencanakan pembunuhan dengan orang lain, sedangkan suaranya dia saja tidak ada dalam rekaman itu. Ada apa sebenarnya? Selain itu, berdasarkan Pasal 184 KUHAP, rekaman bukanlah alat bukti yang sah.

Dalam tuntutannya, JPU menyatakan Antasari telah melanggar Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 340 KUHP. Hal yang lucu bagi saya adalah mengenai hal-hal yang memberatkan Antasari. Salah satu hal yang memberatkan Antasari menurut JPU adalah bahwa terdakwa Antasari sering membuat kegaduhan dalam persidangan.

Hal ini membuat saya tertawa. Masyarakat menyaksikan persidangan Antasari. Dan tidak pernah saya menemukan bahwa Antasari membuat kegaduhan dalam sidang. Yang namanya membuat kegaduhan itu adalah membuat keributan, tidak menghormati sidang, dll. Tetapi yang saya dan masyarakat dapati adalah Antasari tidak pernah sekalipun berbuat gaduh di persidangan dan justru bersikap kooperatif. Kuasa hukum Antasari, M. Assegaff, menyatakan tuntutan jaksa yang tidak mencantumkan hal-hal yang meringankan, membuktikan bahwa jaksa berambisi menghukum.

Melihat hal-hal tersebut membuat kesan bahwa semua itu sengaja dipaksakan. Dan tuntutan mati oleh JPU itu membuat tekanan bagi hakim untuk memutus tidak jauh berbeda dari tuntutan jaksa. Karena itu, kita tinggal menunggu pleidoi dari pengacara Antasari serta penilaian hakim atas semuanya melalui putusan. Kita harapkan bahwa hakim dapat memutus berdasarkan fakta yang ada dan berdasarkan keyakinan hakim serta dengan hati nurani agar tercipta keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia, khususnya Antasari Azhar.

sumber : tampubolon.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lahir di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, pada 18 Maret 1953. Mengenyam pendidikan dasar di SD Negeri I Belitung sebelum menyelesaikan pendidikan SMP dan SMA-nya di Jakarta. Enam tahun di Jakarta, Antasari kembali ke Palembang ketika mengikuti jenjang perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya.
Selama masa kuliah itu, Antasari tergolong mahasiswa yang gemar berorganisasi. Beliau pernah menjabat sebagai Ketua Senat Fakultas Hukum dan Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa Universitas Sriwijaya.

Seusai menamatkan bangku kuliah, Antasari memilih untuk langsung mengabdi kepada negara. Dia bergabung dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional pada Departemen Kehakiman (kini Departemen Hukum dan HAM). Empat tahun di sana, Antasari bergabung dengan kejaksaan. Di korps Adhyaksa ini, beliau mengabdi selama lebih dari dua puluh tahun dengan jabatan terakhir sebagai Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung.

Selama di kejaksaan, Antasari mengikuti berbagai pelatihan dan pendidikan, mulai dari pendidikan kedinasan seperti SPAMA, SPAMEN, dan SPATI, hingga pelatihan spesialisasi seperti spesialis subversi, korupsi, dan lingkungan hidup. Bapak dua orang anak ini juga sempat mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diadakan di luar negeri, di antaranya Commercial Law di New South Wales University Sidney pada 1996 dan Investigation For Environment Law, EPA, Melbourne pada 2000. Di tahun yang sama pula, beliau meraih gelar magister hukumnya di STIH “IBLAM”.

Pada 5 Desember 2007, Komisi III DPR melalui voting, memutuskan Antasari untuk memegang tampuk Pimpinan KPK periode 2007-2011 bersama empat orang lainnya. Pengucapan sumpahnya sebagai Pimpinan KPK periode 2007- 2011 dilakukan di hadapan Presiden Republik Indonesia di Istana Negara pada Selasa, 18 Desember 2007. Pada 11 Oktober 2009, sesuai dengan Keputusan Presiden No. 78/P Tahun 2009, Antasari diberhentikan dari posisinya sebagai ketua merangkap anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2007-2011. (kpk.go.id)

sumber : http://scriptintermedia.com/view.php?id=4557

Antasari Azhar terpilih menjadi Ketua KPK pada 5 Desember 2007 dengan masa jabatan 2007-2011. Di bawah kepemimpinan beliaulah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin menunjukkan kemampuan dan keteguhan independensinya memberantas korupsi. Sebagai Ketua KPK, Antasari Azhar, kelahiran Pangkal Pinang, Bangka 18 Maret 1953, menunjukkan kepemimpinan yang menempatkan KPK pada sebagai lembaga yang independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan lembaga lainnya.

KPK di bawah kepemimpin mantan Kepala bidang hubungan media massa Kejaksaan Agung (2000) dan Kepala kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, ini memperlihatkan keberanian, profesionalitas, integritas dan eksistensinya yang tidak berada di bawah kendali pemerintah (eksekutif). Ia tidak gemar menghadap dan melapor kepada Presiden seperti pendahulunya Taufiequrachman Ruki.

Pada awal kepemimpinnya, beberapa saat setelah ia dilantik bersama empat anggota KPK lainnya di Istana Negara, Jakarta (Desember 2008 ), KPK membongkar kasus suap dalam tubuh Kejaksaan Agung [Mungkinkah Kejagung menggunakan kesempatan ini untuk "revenge"] , juga menuntaskan kasus penyimpangan aliran dana Bank Indonesia yang melibatkan antara lain Aulia Pohan, besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Selama sekitar 2 tahun kepemimpinan, telah banyak pejabat tinggi baik di legislatif maupun petinggi-petinggi daerah seperti Gubernur dan Bupati. Masih segar dalam ingatan kita bahwa keberanian KPK dapat membawa Sarjan Taher, Hamka Yandhu, Al Amin Nasution, Saleh Djasit, Jaksa Urip, Artalyta yang melambungkan nama Antasari Azhar. Karena prestasi Antasari Azhar ini pula dengan cekatan partai Demokrat mengambil kesempatan untuk membawa nama baik SBY dan menjadi salah satu pendongkrak. Bahkan prestasi KPK pun dibawa-bawa Demokrat untuk mendongkrak suara pemilu 9 April 2009 silam.

sumber : blogranijuliani.blogspot.com

Antasari Azhar, terdakwa otak pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen dituntut hukuman mati oleh Jaksa penuntut umum (JPU). Kenapa? Apa saja yang memberatkannya? Ada 10 hal yang menurut jaksa memberatkan Antasari dalam kasus ini. 10 Hal itu dibacakan Ketua JPU Cirus Sinaga dalam sidang penuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Jl Ampera Raya, Jakarta, Selasa (19/1/2010).

10 Hal yang memberatkan itu adalah:

1. Terdakwa sangat mempersulit persidangan.
2. Terdakwa membuat gaduh.
3. Terdakwa melakukan perbuatan secara bersama-sama, terorganisir untuk membunuh korban Nasrudin Zulkarnaen.
4. Terdakwa telah berusaha menggiring bahwa perbuatannya adalah rekayasa
untuk mempengaruhi publik supaya citra penegak hukum rusak.
5. Terdakwa telah bersama-sama oknum menengah Polri dan pengusaha pers melakukan perbuatan pidana.
6. Perbuatan terdakwa telah merusak citra dan mempermalukan penegak hukum.
7. Terdakwa tidak memberikan contoh yang baik.
8. Korban adalah pejabat BUMN.
9. Terdakwa telah menghilangkan kebahagiaan keluarga istri dan anak-anak korban.
10. Terdakwa telah mengakibatkan penderitaan lahir batin keluarga, istri dan anak-anak korban.

“Hal-hal yang meringankan, selama persidangan tidak ditemukan hal-hal yang meringankan,” tegas Cirus.

sumber; detik.com

Pada hari Selasa, 19 Januari 2010, Jaksa Penuntut Umum menuntut Antasari Azhar, terdakwa dalam kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasruddin Zulkarnaen dengan pidana mati. Saya menilai bahwa tuntutan JPU tidak professional, tidak proporsional, dan tidak melihat terkesan dipaksakan.

Hal ini dinilai karena selama ini JPU tidak bisa menunjukkan bukti yang kuat bahwa Antasari adalah otak dari pembunuhan Nasruddin. Bahkan belakangan ini, saksi-saksi yang diperiksa justru meringankan Antasari. Dari saksi ahli, saksi Wiliardi, saksi Susno, dan alat bukti yang lain mendukung bahwa Antasari bukanlah otak dari pembunuhan Nasruddin.

Semua tuduhan-tuduhan beserta bukti yang didakwakan kepada Antasari malah dipatahkan oleh saksi-saksi. Tuduhan JPU bahwa Antasari meneror Nasruddin dipatahkan oleh kesaksian Saksi Ahli (Ahli IT). Saksi Ahli itu bersaksi bahwa setelah ia periksa dan analisis, ternyata tidak ditemukan sms teror Antasari kepada Nasruddin sebagaimana yang dituduhkan JPU.

Bukti rekaman yang jadi pegangan JPU pun hanya berisi suara Wiliardi, tanpa ada suara Antasari. Bagaimana mungkin seseorang dituduh merencanakan pembunuhan dengan orang lain, sedangkan suaranya dia saja tidak ada dalam rekaman itu. Ada apa sebenarnya? Selain itu, berdasarkan Pasal 184 KUHAP, rekaman bukanlah alat bukti yang sah.

Dalam tuntutannya, JPU menyatakan Antasari telah melanggar Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 340 KUHP. Hal yang lucu bagi saya adalah mengenai hal-hal yang memberatkan Antasari. Salah satu hal yang memberatkan Antasari menurut JPU adalah bahwa terdakwa Antasari sering membuat kegaduhan dalam persidangan.

Hal ini membuat saya tertawa. Masyarakat menyaksikan persidangan Antasari. Dan tidak pernah saya menemukan bahwa Antasari membuat kegaduhan dalam sidang. Yang namanya membuat kegaduhan itu adalah membuat keributan, tidak menghormati sidang, dll. Tetapi yang saya dan masyarakat dapati adalah Antasari tidak pernah sekalipun berbuat gaduh di persidangan dan justru bersikap kooperatif. Kuasa hukum Antasari, M. Assegaff, menyatakan tuntutan jaksa yang tidak mencantumkan hal-hal yang meringankan, membuktikan bahwa jaksa berambisi menghukum.

Melihat hal-hal tersebut membuat kesan bahwa semua itu sengaja dipaksakan. Dan tuntutan mati oleh JPU itu membuat tekanan bagi hakim untuk memutus tidak jauh berbeda dari tuntutan jaksa. Karena itu, kita tinggal menunggu pleidoi dari pengacara Antasari serta penilaian hakim atas semuanya melalui putusan. Kita harapkan bahwa hakim dapat memutus berdasarkan fakta yang ada dan berdasarkan keyakinan hakim serta dengan hati nurani agar tercipta keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia, khususnya Antasari Azhar.

sumber : tampubolon.wordpress.com